Tanggal 6 Desember 2021 merupakan tanggal yang dirasakan berbeda oleh Zain, Alumni Program Studi Teknologi Pendidikan angkatan masuk tahun 2016. Zain yang bernama lengkap Zainuddin Abu Hamid Muhammad Ghozali, S.Pd. sangat berbahagia karena terpilih sebagai salah satu awardee LPDP Santri 2021 dan akan melanjutkan studi Magister di University of Manchester Inggris. Zain yang selama mengikuti perkuliahan memiliki prestasi akademik yang sangat baik dengan IPK 3,71 serta sangat aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan memiliki cita-cita untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi setelah menyelesaikan studi sarjananya.
Bagi Zain, mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri merupakan kado terindah yang saya dapatkan di tahun 2021. Perjalanannya mendapatkan beasiswa tersebut bermula dari awal tahun 2021. Saat itu, selang beberapa hari setelah menyelesaikan sidang skripsi, Zain terpaksa harus mengubur mimpinya untuk lanjut studi S2 di salah satu perguruan tinggi negeri setelah orang tua Zain menyampaikan bahwa mereka tidak bisa membiayai studi lanjut dengan berbagai pertimbangan. Tentu saja saat itu Zain merasa sedih dan kecewa. Namun, Zain tidak ingin membiarkan dirinya kalah oleh keadaan. Sejak saat itu, Zain bertekad agar dapat melanjutkan pendidikan dengan beasiswa di luar negeri.
Menurut Zain “Langkah awal yang saya lakukan adalah mengumpulkan informasi mengenai kampus yang dituju yang memiliki program studi serumpun dengan teknologi pendidikan di beberapa negara, seperti Malaysia dan Australia. Kemudian saya catat apa saja persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendaftar ke kampus tersebut. Berdasarkan hasil pencarian saya, pada dasarnya hampir seluruh universitas di luar negeri memerlukan sertifikat bahasa asing, khususnya IELTS dengan rerata skor yang diperlukan minimal 6.5 overall. Oleh karena itu, setelah memantapkan pilihan universitas, saya mempersiapkan diri belajar bahasa Inggris untuk mengambil tes IELTS.”
Persiapan tes IELTS memanglah tidak instan, terlebih lagi pada bagian speaking dan writing yang memerlukan kemampuan aktif berbahasa Inggris. Mulanya, saya mengambil kursus selama dua bulan di Balai Bahasa UPI. Tidak berpuas diri dengan kemampuan saya, saya mengambil beberapa kursus di tempat lain secara terpisah. Saya juga menyempatkan setidaknya satu jam untuk belajar mandiri dengan menggunakan berbagai platform. Sedangkan di malam hari, saya bergabung dengan klub bahasa Inggris untuk melatih kemampuan speaking. Segala usaha tersebut saya lakukan selama kurang lebih tujuh bulan agar biaya tes IELTS yang cukup menguras kantong tersebut tidak terbuang sia-sia.
Memang, perjalanan dalam mencari beasiswa sangatlah panjang serta menguras banyak materi, waktu, dan tenaga. Tak jarang saya mengalami pasang surut motivasi dalam mempertahankan mimpi tersebut. Tak jarang, dalam beberapa kesempatan, saya ingin menyerah dan berhenti berjuang. Namun, semua proses tersebut saya nikmati dengan mendistraksikan diri saya pada kegiatan lain. Di luar kegiatan persiapan beasiswa, saya mengajar di salah satu sekolah dan pesantren di Kota Bandung. Di sini, saya mencoba mengimplementasikan ilmu yang saya dapatkan di teknologi pendidikan di tengah berbagai keterbatasan, di antaranya adalah menginisiasi penggunaan LMS untuk pembelajaran jarak jauh pada masa pandemi Covid-19.
Sampai akhirnya, pada pertengahan bulan September, saya memberanikan diri mengambil tes IELTS. Beruntung, hasil jerih payah saya selama beberapa bulan terbayar dengan skor IELTS yang mencapai 7.0. Bagi saya, sertifikat IELTS memang diibaratkan seperti golden ticket. Dengan skor yang cukup tinggi, saya mampu mengajukan aplikasi saya ke beberapa universitas, seperti University of Sydney dan University of Manchester. Yang perlu saya siapkan adalah esay serta surat rekomendasi dari dosen di pendidikan sebelumnya. Beruntungnya, program studi Teknologi Pendidikan secara terbuka membantu saya mempersiapkan dokumen-dokumen tersebut. Berkat bantuan serta bimbingan tersebut, saya berhasil memenuhi seluruh persyaratan pendaftaran kampus-kampus tersebut.
Beberapa minggu kemudian, saya secara tidak sengaja melihat unggahan di akun resmi LPDP mengenai program LPDP Santri 2021. Beasiswa tersebut terdengar baru bagi saya. Namun, setelah melihat berbagai persyaratannya, saya yang awalnya berniat mendaftar beasiswa LPDP reguler tahun depan memantapkan diri untuk mendaftar pada beasiswa tersebut. Berbekal pengalaman saya mengajar di pesantren serta mimpi saya untuk berkontribusi meningkatkan literasi digital di pesantren, saya melewati berbagai tahapan dengan lancar, dimulai dari seleksi administrasi, tes substansi akademik, sampai pada tahap wawancara. Sampai akhirnya, di awal bulan Desember, saya mendapatkan notifikasi bahwa saya terpilih sebagai salah satu awardee LPDP Santri 2021.
Di saat bersamaan, kabar baik juga datang dari Manchester, di mana saya mendapatkan unconditional letter dari kampus tersebut pada program MA Digital Technologies, Communication, and Education. Tentunya, menjadi bagian dari salah satu universitas terbaik di dunia masih terasa seperti mimpi bagi saya. Terlebih, program tersebut sangat erat berhubungan dengan teknologi pendidikan serta menawarkan berbagai mata kuliah yang relevan dan menarik, seperti Blended Learning, Multimedia Design and Development, Digital Literacy, serta AI Perspectives on Learning. Dengan adanya surat tersebut, saya selangkah lebih dekat menuju impian saya berkuliah di luar negeri.
Harapan saya, semoga cerita saya tersebut dapat memberikan inspirasi bagi teman-teman teknologi pendidikan, bahwa tidak ada batasan bagi kita untuk bermimpi. Terlebih bagi kita, teknolog pendidikan yang memiliki prospektif yang cerah dan menjanjikan di masa depan. Yang perlu kita lakukan adalah tetap gigih berusaha serta bersikap proaktif memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Tidak lupa nikmati setiap proses saat kita tumbuh menjadi setiap figur yang lebih baik, hargai setiap kegagalan, dan jadikan hal tersebut sebagai bahan bakar untuk menggapai mimpi.
–Selamat melanjutkan studi Zain, Semoga dapat diikuti oleh adik-adik tingkatnya—